Jumat, 08 Maret 2013

Alat Musik Tradisional di Nanggroe Aceh Darussalam


Oleh : Piet Rusdi, S.Sos.

PendahuluanKesenian merupakan salah satu dari tujuh unsur kebudayaan universal. Kebudayaan merupakan “Keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu”. Itu berarti bahwa kesenian juga merupakan hasil budi dan karya manusia.

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia kesenian berarti perihal seni atau keindahan. Kesenian berasal dari kata dasar seni. Kata seni merupakan terjemahan dari bahasa asing “Art” (bahasa Inggris) istilah “Art” sendiri sumbernya berpangkal dari bahasa Itali, yaitu “arti”. Perkataan “arti” ini dipergunakan pada zamannya untuk menunjukkan nama sesuatu benda hasil kerajinan manusia pada masa perkembangan kebudayaan eropa klasik, yaitu pada zaman yang dinamakan orang dengan sebutan Renaissance di Italia. Dari “arti” menjadi “art”, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi seni. Selalu dihubungkan dengan perasaan keindahan.

Seni adalah sesuatu yang indah yang dihasilkan manusia, penghayatan manusia melalui penglihatan, pendengaran dan perasaan. Seni merupakan penjelmaan rasa indah yang terkandung jiwa seseorang, dilahirkan dengan perantaraan alat-alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), penglihat (seni lukis) atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama). Namun yang akan dibahas lebih lanjut yaitu berhubungan dengan seni suara khusus “seni musik”

Pengertian Musik
Istilah Musik berasal dari kata Mousal dari bahasa Yunani, yaitu sembilan dewi yang menguasai seni, seni murni dan seni pengetahuan. Tetapi, umumnya musik selalu dikaitkan dengan sejumlah nada yang terbagi dalam jarak tertentu.Dalam istilah masa kini ada 2 jarak yaitu Diantoni dan Pentagonis.

Dalam tulisan ini mencoba menjelaskan dan memaknai alat musik dari nada dengan jarak Pentagonis yaitu : yang memiliki nada lima jenis bunyi yang kedengarannya seolah-olah alamiah, maka ia menjadi salah satu ciri khas bunyi instrument tradisional, yang alatnya terbuat dan terbentuk dari bahan yang tersedia di alam sekitarnya, seperti kayu, bambu, logam, tanduk, kulit hewan dan lain sebagainya.

Perkembangan MusikDalam sejarah kehidupan manusia, musik merupakan bagian yang hidup dan berkembang sejalan dengan perkembangan manusia itu sendiri.

Musik oleh manusia dijadikan sebagai media untuk menuturkan sesuatu dari dalam jiwanya yang tidak mampu dibahasakan melalui bahasa konvensional. Seni musik merupakan bagian dari proses kreatif manusia dalam mengolah bunyi-bunyian yang tercipta oleh alam. Unsur bunyi alam seperti suara unggas, denting kayu, gesekan bambu, rintik hujan dan sebagainya, diolah ke dalam bentuk instrumen musik yang tercipta dari tingkat ketrampilan dan pemahaman seniman tentang keselarasan bunyi instrumen dengan ritme kehidupan alam lingkungan sekitarnya.

Asal-usul tentang bunyi instrumen musik menurut para ahli dilahirkan dari segala upaya manusia meniru suara alam. Usaha manusia dalam keadaan seseorang diri terekam dalam kondisi lingkungannya yang diam, sepi dan membungkam. Saat itu manusia merasakan kekosongan bathin dan kesendirian dirinya. Suasana ini dapat terjadi ketika berada di kebun malam hari, dalam perjalanan, menghadapi masalah pelik, berada dalam transisi jenjang kehidupan biologis, harga diri yang terluka, kedukaan dan suasana spikologis lainnya.

Lahirnya musik tradisional tidak secara spontan. Bunyi-bunyian tercipta dari upaya manusia dalam meniru suara alam, suara bintang, kicauan burung, desau angin dari gesekan yang terjadi dari dalam pohon dan sebagainya. Dengan latar belakang penciptaan yang sama, beberapa alat musik yang tercipta memiliki banyak kesamaan, baik dari bahan, cara pembuatan, bentuk dan cara memainkannya. Kesamaan instrumen yang dihasilkan menunjukkan adanya kontak antar kelompok masyarakat.

Sementara itu menurut Curt Sach, tumbuh dan berkembangnya suatu musik melalui proses evaluasi. Musik yang paling tua sekali adalah berbentuk tepukan-tepukan pada anggota badan manusia. Untuk membedakan warna bunyinya mereka menepukkan tangannya ke bagian perut dengan mengembungkan dan mengecilkan perutnya. Perkembangan selanjutnya, manusia melalui musik menggunakan bahan-bahan kayu dan bambu sebagai alat musik.

Musik terdapat dalam setiap kebudayaan. Musik pada awalnya juga dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan sakral dan upacara-upacara yang berhubungan dengan kepercayaan dan adat. Musik dipergunakan sebagai sarana untuk membangkitkan semangat, menyemarakkan suasana, mengiringi gerak tari dan sebagai media kesurupan (trance).

Di daerah-daerah seperti Sumatera, Jawa, Bali serta beberapa daerah lainnya musik dipergunakan untuk penobatan raja, menyambut tamu kehormatan, pemberangkatan perang, perayaan kemenangan dan lain-lain.

Pada perkembangan selanjutnya, seni musik juga berkembang sebagai bentuk seni pertunjukan dengan sasaran hiburan semata-mata. Sedangkan pemanfaatnya ada yang semata-mata untuk tujuan menghasilkan bunyi-bunyian, sebagai tanda tertentu ataupun sebagai pengiring lagu, syair dan tari.Musik Alat musik ini dalam menghasilkan bunyi dipraktekkan dengan ditiup, dipukul, digesek dan dipetik.
Di sumatera, musik tradisional juga dipengaruhi oleh unsur-unsur kebudayaan Arab dan Barat. Sebagai contoh, setelah datangnya pengaruh Arab muncul kesenian yang menggunakan rebana dengan menyenandungkan syair-syair keagamaan. Kemudian berkembang musik gambus untuk mengeringi lagu-lagu, tari maupun instrumental. Musik gambus ini selain menggunakan alat musik petik, juga dimainkan alat-alat musik lain seperti gendang, seruling, juga menggunaka biola, terompet dan accordion yang merupakan pengaruh barat.

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana provinsi lainnya di Indonesia merupakan salah daerah yang kaya akan kebudayaan. Sejarah telah membuktikan semenjak adanya kerajaan-kerajaan kecil di masa silam sampai Indonesia memproklamirkan kemerdekaanya hingga dewasa ini Aceh tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaannya bahkan nilai-nilai budaya ini menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Aceh.

Walaupun musik tradisional masih tetap dipelihara, dikembangkan dan dipegelarkan oleh pencinta dan pendukung-pendukungnya sampai dewasa ini namun tidak mungkin akibat penetrasi unsur-unsur luar/kebudayaan luar, nilai-nilai budaya Aceh akan menjadi suram ataupun mungkin menjauh/menghilang dalam masyarakat.

Oleh karena itu dalam tulisan ini mencoba menginventaris kembali serta memperkenalkan alat-alat musik tradisional Aceh yang masih eksis maupun yang hampir punah untuk dikembangkan kembali serta dihayati karena ini merupakan suatu warisan yang harus tetap dijaga dan dipelihara kelestariannya. yang nantinya bisa bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Jenis-Jenis Alat Musik Di NAD

Arbab

Instrumen ini terdiri dari 2 bagian yaitu Arbabnya sendiri (instrumen induknya) dan penggeseknya (stryk stock) dalam bahasa daerah disebut : Go Arab. Instrumen ini memakai bahan : tempurung kelapa, kulit kambing, kayu dan dawai.


Musik Arbab pernah berkembang di daerah Pidie, Aceh Besar dan Aceh Barat. Arbab ini dipertunjukkan pada acara-acara keramaian rakyat, seperti hiburan rakyat, pasar malam dsb. Sekarang ini tidak pernah dijumpai kesenian ini, diperkirakan sudah mulai punah. Terakhir kesenian ini dapat dilihat pada zaman pemerintahan Belanda dan pendudukan Jepang.

Bangsi Alas
Bangsi Alas adalah sejenis isntrumen tiup dari bambu yang dijumpai di daerah Alas, Kabupeten Aceh Tenggara. Secara tradisional pembuatan Bangsi dikaitkan dengan adanya orang meninggal dunia di kampung/desa tempat Bangsi dibuat. Apabila diketahui ada seorang meninggal dunia, Bangsi yang telah siap dibuat sengaja dihanyutkan disungai. Setelah diikuti terus sampai Bangsi tersebut diambil oleh anak-anak, kemudian Bangsi yang telah di ambil anak-anak tadi dirampas lagi oleh pembuatnya dari tangan anak-anak yang mengambilnya. Bangsi inilah nantinya yang akan dipakai sebagai Bangsi yang merdu suaranya. Ada juga Bangsi kepunyaan orang kaya yang sering dibungkus dengan perak atau suasa.

Serune Kalee (Serunai)
Serune Kalee merupakan isntrumen tradisional Aceh yang telah lama berkembang dan dihayati oleh masyarakat Aceh. Musik ini populer di daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar dan Aceh Barat. Biasanya alat musik ini dimainkan bersamaan dengan Rapai dan Gendrang pada acara-acara hiburan, tarian, penyambutan tamu kehormatan. Bahan dasar Serune Kalee ini berupa kayu, kuningan dan tembaga. Bentuk menyerupai seruling bambu. Warna dasarnya hitam yang fungsi sebagai pemanis atau penghias musik tradisional Aceh.


Serune Kalee bersama-sama dengan geundrang dan Rapai merupakan suatau perangkatan musik yang dari semenjak jayanya kerajaan Aceh Darussalam sampai sekarang tetap menghiasi/mewarnai kebudayaan tradisional Aceh disektor musik.

Rapai
Rapai terbuat dari bahan dasar berupa kayu dan kulit binatang. Bentuknya seperti rebana dengan warna dasar hitam dan kuning muda. Sejenis instrumen musik pukul (percussi) yang berfungsi pengiring kesenian tradisional.


Rapai ini banyak jenisnya : Rapai Pasee (Rapai gantung), Rapai Daboih, Rapai Geurimpheng (rapai macam), Rapai Pulot dan Rapai Anak.

Geundrang (Gendang)
Geundrang merupakan unit instrumen dari perangkatan musik Serune Kalee. Geundrang termasuk jenis alat musik pukul dan memainkannya dengan memukul dengan tangan atau memakai kayu pemukul. Geundrang dijumpai di daerah Aceh Besar dan juga dijumpai di daerah pesisir Aceh seperti Pidie dan Aceh Utara. Fungsi Geundrang nerupakan alat pelengkap tempo dari musik tradisional etnik Aceh.

Tambo
Sejenis tambur yang termasuk alat pukul. Tambo ini dibuat dari bahan Bak Iboh (batang iboh), kulit sapi dan rotan sebagai alat peregang kulit. Tambo ini dimasa lalu berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menentukan waktu shalat/sembahyang dan untuk mengumpulkan masyarakat ke Meunasah guna membicarakan masalah-masalah kampung.


Sekarang jarang digunakan (hampir punah) karena fungsinya telah terdesak olah alat teknologi microphone.

Taktok Trieng
Taktok Trieng juga sejenis alat pukul yang terbuat dari bambu. Alat ini dijumpai di daerah kabupaten Pidie, Aceh Besar dan beberapa kabupaten lainnya. Taktok Trieng dikenal ada 2 jenis :

Yang dipergunakan di Meunasah (langgar-langgar), dibalai-balai pertemuan dan ditempat-tempat lain yang dipandang wajar untuk diletakkan alat ini.
jenis yang dipergunakan disawah-sawah berfungsi untuk mengusir burung ataupun serangga lain yang mengancam tanaman padi. Jenis ini biasanya diletakkan ditengah sawah dan dihubungkan dengan tali sampai ke dangau (gubuk tempat menunggu padi di sawah).


Bereguh
Bereguh nama sejenis alat tiup terbuat dari tanduk kerbau. Bereguh pada masa silam dijumpai didaerah Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara dan terdapat juga dibeberapa tempat di Aceh. Bereguh mempunyai nada yang terbatas, banyakanya nada yang yang dapat dihasilkan Bereguh tergantung dari teknik meniupnya.
Fungsi dari Bereguh hanya sebagai alat komunikasi terutama apabila berada dihutan/berjauhan tempat antara seorang dengan orang lainnya. Sekarang ini Bereguh telah jarang dipergunakan orang, diperkirakan telah mulai punah penggunaannya.


Canang
Perkataan Canang dapat diartikan dalam beberapa pengertian. Dari beberapa alat kesenian tradisional Aceh, Canang secara sepintas lalu ditafsirkan sebagai alat musik yang dipukul, terbuat dari kuningan menyerupai gong. Hampir semua daerah di Aceh terdapat alat musik Canang dan memiliki pengertian dan fungsi yang berbeda-beda.

Fungsi Canang secara umum sebagai penggiring tarian-tarian tradisional serta Canang juga sebagai hiburan bagi anak-anak gadis yang sedang berkumpul. Biasanya dimainkan setelah menyelesaikan pekerjaan di sawah ataupun pengisi waktu senggang.

Celempong
Celempong adalah alat kesenian tradisional yang terdapat di daerah Kabupaten Tamiang. Alat ini terdiri dari beberapa potongan kayu dan cara memainkannya disusun diantara kedua kaki pemainnya.


Celempong dimainkan oleh kaum wanita terutama gadis-gadis, tapi sekarang hanya orang tua (wanita) saja yang dapat memainkannnya dengan sempurna. Celempong juga digunakan sebagai iringan tari Inai. Diperkirakan Celempong ini telah berusia lebih dari 100 tahun berada di daerah Tamiang.

Penutup
Keanekaragaman alat musik tradisional yang terdapat di Aceh merupakan salah satu identitas dari masyarakat Aceh. Oleh karena itu menjadi tugas masyarakat Aceh untuk tetap dijaga, dipelihara kelestariannya. sehingga tidak menjadi punah.

Hal ini tentunya juga peran dari pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait untuk mendukung dan bersama-sama memperkenalkan kepada generasi muda betapa tingginya nilai-nilai budaya bangsa yang diwariskan oleh nenek moyang terdahulu. Serta juga sebagai salah satu daya tarik wisata bagi wisatawan Nusantara dan manca Negara untuk dapat lebih mengenal adat dan seni budaya daerah Aceh.

Penulis:Piet Rusdi, S.Sos. adalah Peneliti pada Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh
Download File Asli:
http://www.pintoaceh.com/piet_hb38_musik

2 komentar:

Anonim mengatakan...
blog ini sangat membantu saya dalam menyelesaikan tugas sekolah,,terimakasih atas semua informasinya..lanjutkannya

Frankfurt University of Music and Performing Arts

The Frankfurt University of Music and Performing Arts (German: Hochschule für Musik und Darstellende Kunst Frankfurt am Main) is a state Hochschule for Music, Theater and Dance in Frankfurt and is the only one of its kind in the Federal State of Hesse. It was founded in 1938.
At present around 900 students are taught by about sixty five professors and 320 other teaching staff. The study programs include Performance in all instruments and voice, the teaching of music, composition, conducting and church music. There are also programs in musical theater, drama and dance. The Hochschule offers graduate studies in musicology and the teaching of music.

Contents

History

Frankfurt am Main has had an institute for the teaching of music since 1878. The Hoch Conservatory flourished and had a worldwide reputation in the late 19th and early 20th centuries. Through teachers like the pianist Clara Schumann and composers Joachim Raff, Bernhard Sekles and Engelbert Humperdinck, the Hoch Conservatory attracted students from around the world, including the composers Hans Pfitzner, Edward MacDowell, Percy Grainger, Paul Hindemith and Ernst Toch, and the conductors Otto Klemperer and Hans Rosbaud.
In April 1933, when the National Socialists came to power in Germany, the director Bernhard Sekles, Mátyás Seiber, head of the world's first jazz department, and twelve other members of the teaching staff who were Jewish or foreign, were removed from their positions.[1] Later, the Hoch Conservatory was degraded to a Music School (Musikschule des Dr Hoch's Konservatorium).[2] In 1938 the "Hochschule für Musik" was established. In 1940 its name was the "Staatliche Hochschule für Musik - Dr Hoch's Konservatorium", but in 1942 the subtitle "Dr Hoch's Konservatorium" was dropped, leaving the full name as "Staatliche Hochschule für Musik".[3] In his testament Joseph Hoch, benefactor of the Conservatory, had stipulated that the name "Dr Hoch's Konservatorium" should never be changed.[4][5] The Hochschule thus became a new and separate institution, distancing itself from the Conservatory its history.
In the closing stages of the Second World War, both institutions closed down. After the war both were reopened, and they now work together in a three-tier system of the Hochschule, the Hoch Conservatory and the Music School. Helmut Walcha, who had taught the organ at the Hoch Conservatory from 1933 to 1938, initiated the reopening of the Hochschule in 1947.[6] The first department to be reopened was that of church music, followed by the department of school music and, in 1949, the seminar for the teaching of music.
In the summer of 1950, the violinist Walther Davisson, who had studied and taught at the Hoch Conservatory, became artistic director of both the Hochschule and the Hoch Conservatory. Under his directorship the Department of Performance was, step by step, restarted in instrumental and vocal training. At this time after the war, teaching was still taking place in private homes and in the partly renovated Conservatory building - which was still standing in ruins. (It was unfortunately pulled down later). Not until 1956 did the Hochschule have its own building: it was given the Radio-House of the Hessischer Rundfunk, builot in 1933.
The development of the Hochschule continued through the 1950s and 60s: including the establishing of the Opera School and Opera-Choir School (1954 and 1958), the Drama School (1960) and the Dance School (1961). In the 1960s the Studio for New Music and the Studio for Early Music were started. Later, departments of jazz and popular music were opened and in 1982 the Department of Musicology was started. From 1989 the Hochschule was given the right to offer graduate studies in the teaching of music and musicology.
In 1990-93 the Hochschule's new main building and library were finished.
The Historical Performance Practice and Contemporary Music Institutes were founded in 2005.[7]

Notable teachers and students

The Big Band of the Hochschule with Allen Jacobson

10 of the best live music venues in Paris

While the Parisian clubbing scene is to all intents and purposes moribund, a new trend is sweeping the French capital as bars and cafes transform into impromptu live music venues. These are equally attractive for young new bands eager to perform and for audiences who usually get in for free or pay €5-10 for a night out listening to everything from chanson and indie to afrobeat and salsa, jazz and blues to manouche and post punk rock.

Le Pompon

Another exciting new address on the music scene, Le Pompon takes the prize for the most unusual setting – a converted synagogue. There is a buzzing bar on the ground floor, while indie bands or electro-pop DJs play in a super-insulated speakeasy basement – it's like entering a bank vault – to avoid noise complaints by the neighbours. After midnight, expect a packed dancefloor. Entry is free, drinks reasonably priced. Just down the street is the famous jazz club, Le New Morning, but ticket prices there are as expensive as Ronnie Scott's in London.
• 39 rue des Petites Ecuries, 10th, +33 1 5334 6085, lepompon.fr. Métro: Poissonnière, Bonne Nouvelle. Open daily 7pm-2am

Le Carmen

Le Carmen In the heart of Pigalle, the Carmen is one of the hotttest new addresses in town right now. Set in a sumptuous mansion that was once the home of Georges Bizet, this bar is a series of cosy salons decorated with glittering chandeliers and velvet sofas. The music is organised by young British expat John Whelan, and ranges from new French bands such as Armistice to ultra hip fashion DJs like Jerry Bouthier. Entry for all the concerts is free, but be prepared for quite steep drinks prices, especially if you're tempted by the lengthy list of cocktails.
• 35 rue Duperré, 9th, +33 1 4526 5000, le-carmen.fr. Métro: Blanche, Pigalle. Open 8pm-2am

Au Cafe de Paris

Au Cafe de Paris Not to be confused with London's Cafe de Paris, this is a much more street-wise, bohemian hang-out. Rue Oberkampf is one of the capital's wildest nightlife spots, but you have to go right up to the gritty Chinatown end to discover this beautiful belle époque bar. It looks like a drab cafe from the street, but walk right to the end of the bar and there is a frescoed ballroom that hosts theatre, poetry and music, while downstairs is a miniscule cellar for budding young rock and punk bands. Most concerts are priced at €5.
• 158 rue Oberkampf, 11th, +33 1 4357 3467, aucafedeparis.pagesperso-orange.fr. Open daily 6pm-2am

Le China

Le China The China has long been one of the city's most stylish clubs, incorporating a gourmet Chinese restaurant and stunning tropical cocktail bar. But recently the cool downstairs bar has been turned into a lively music venue, too, with concerts every night, free entrance, beer and wine at €5 a glass if you don't want to pay for an expensive cocktail. The programming is eclectic, meaning that on any one night you could catch gypsy manouche musicians, a jazz jam session, the folky French crooner Morik, burlesque cabaret from the La Petite Cour des Astres, or a great new R&B band, Kiss my Frogs.
• 50 rue de Charenton, 12th, +33 1 4346 0809, lechina.eu. Métro: Ledru-Rollin. Open Mon-Sat 6pm-2am

Le Bouillon Belge

Le Bouillon Belge Things move fast on the live Paris music scene, and this popular hangout known for its fun mix of north African, Caribbean and Cuban bands, right off the beaten track near the place de la Nation, has been totally transformed over the last few weeks. There is a new name, the barman is pulling pints of Belgium beer instead of mixing mojitos, the kitchen is serving moules frites rather than tagines, and in the basement performance space, expect a programme of electronic and jazz music. Entry is free for the concerts, but you have to buy one drink, priced at €5.
• 6 rue Planchat, 20th, +33 1 4370 4103. Métro: Avron

La Flèche d'Or

La Flèche d'Or A famous venue for discovering the latest in French indie music, the Flèche d'Or gets regularly closed down, but always reopens a few months later. Housed in a cavernous converted train station overlooking La Petit Ceinture – an abandoned rail line that runs round the whole of Paris – the days of it being a wild drinking haunt are temporarily over because right now, it is only licensed to open for concerts, with tickets ranging between €5-10. Be sure to check the website, as the place is often sold out in advance.
• 102 rue de Bagnolet, 20th, +33 1 4464 0102, flechedor.fr. Métro: Gambetta. Open Tues-Fri 8pm-2am, Sat-Sun 8pm-6am

L'Alimentation Générale

L'Alimentation Générale Owned by Franco-Algerian friends of Mourad Mamouz, the man behind Sketch and Momo in London, every night is party time at the Alimentation Générale. This bare, minimalist space – meaning no actual decor apart from some old school chairs and tables plus a battered Babyfoot (table football) – tends to get packed out just before the live music kicks off, and everyone is soon dancing. Bands play Brazilian and Cuban, West African High Life, East European jazz, French hip-hop and electro-funk. Check the website for the monthly Sunday evening concert of Zabumba, a brilliant bunch of samba percussionists. You just wonder how the Parisians make it into work on Monday morning.
• 64 rue Jean-Pierre Timbaud, 11th, +33 1 4355 4250, alimentation-generale.net. Métro: Parmentier. Open Wed, Thur and Sun 5pm to 2am, Fri-Sat 5pm-5am

Le Batofar

Le Batofar Most of the leisure boats moored on the banks of the Seine house touristy restaurants or tacky cabarets, but towards the towering Bibliothèque Nationale, there are two notable exceptions. La Dame de Canton is a magical wooden junk that sailed to Paris from China, and has hosted the likes of Louise Attaque, La Grande Sophie and Thomas Dutronc before they made their names. Then further down the river is the arresting sight of Le Batofar, an Irish floating lighthouse that has a seething concert hall, restaurant, terrace overlooking the water, and a "beach" in summer on the quayside. The music extends from reggae and heavy metal, to afrobeat and breakcore.
• Port de la Gare, 13th, +33 9 7125 5061, batofar.org. Métro: Quai de la Gare. Check website for opening hours

Autour de Midi

Autour de Midi Paris has always been famous for its atmospheric jazz clubs, but these days, many of them are expensive and only feature well-known artists. Just behind the Moulin Rouge in Montmartre, the "cave au jazz" of Autour du Midi is a more laid-back locale. During the week, it is free entry for jam sessions every Tuesday and Wednesday, along with sets by musicians from the ARPE3 jazz school on Thursday. While on Friday and Saturday, concerts featuring bebop, swing and New Orleans bands cost €16, but  with the first drink included. There are two vaulted cellars here, one  converted into a bar, the other a performance space.
• 11 rue Lepic, 18th, +33 1 5579 1648, autourdemidi.fr. Métro: Blanche

Le Klub

Le Klub in Paris The streets that run between Chatelet, Les Halles and the Pompidou Centre form a Bermuda Triangle of nightlife venues, and the latest to hit the scene is Le Klub. It's easy to walk straight past the small black door entrance, but once inside, be prepared for live bands pumping out raucous French rock or Goth heavy metal. Check the web for the regular Le Klub les Filles de Joie nights, when the ambience changes completely with a live burlesque cabaret and DJs playing 80s dance music.
• 14 rue Saint Denis, 1st, +33 1 4236 2699, korporation.net/le-klub. Métro: Châtelet. Open daily 10pm-6am
• All photographs by John Brunton

Daftar tokoh Nusa Tenggara Barat

Daftar tokoh Nusa Tenggara Barat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Daftar ini merupakan daftar tokoh-tokoh dari NTB. Para pembaca dipersilakan untuk ikut mengisi.

Daftar isi

Agamawan

Artis

Politikus, negarawan dan lain sebagainya

Penulis, ilmuwan, budayawan dan lain sebagainya

Olahragawan

Lain-lain

Lihat pula

Musik Tradisi Pulau Nusa Tenggara Timur

            Tidak bisa dipungkiri bahwa Indonesia menyimpan berbagai macam kekayaan kesenian. Tiap pulau dari Sabang hingga Merauke memiliki keunikannya tersendiri. Salah satu pulau di bagian timur Indonesia yang memiliki alat musik yang khas terdapat di Pulau Nusa Tenggara Timur. Jenis alat musik yang cukup dikenal di daerah tersebut adalah alat musik Sasando. Perangkat musik ini tergolong dalam perangkat dawai petik. Hal ini disebabkan karena perangkat ini mempergunakan dawai yang dimainkan dengan cara dipetik. Walaupun dalam permainan musik ini menggunakan vokal, akan tetapi tetap digolongkan dalam perangkat dawai petik sebab kategori vokal nanti akan menjelaskan musik-musik yang memang khusus suara manusia saja tanpa melibatkan instrumen dan jenis-jenis instrumen yang mengiringi dan menjadi bingkai dari lagu vokal itu.
Perangkat Musik Sasando
            Perangkat musik Sasando merupakan salah satu jenis alat musik yang cukup dikenal di Pulau Nusa Tenggara Timur. Setidaknya ada dua jenis Sasando, yaitu yang berasal dari daerah Rote dan Sabu. Kedua daerah tersebut merupakan daerah yang kering dan gersang. Hanya bisa ditumbuhi oleh beberapa jenis tumbuhan saja, salah satunya adalah pohon lontar. Oleh masyarakat setempat, pohon lontar banyak dimanfaatkan. Buahnya dibuat gula dan minuman, daunnya dapat dibuat sebagai atap, tempayan, ember, dan juga salah satu yang menarik adalah dibuat sebagai resonator dari Sasando itu sendiri.
            Daun lontar yang telah cukup berumur akan dimasak untuk membuat resonator Sasando. Daun akan diikatkan satu sama lainnya. Rangkaian dari daun-daun tersebut akan menghasilkan bentuk menyerupai separo bejana yang tengahnya menggembung seperti periuk. Di tengah rangkaian daun tersebut akan dipasangkan sebuah bambu atau kayu yang panjangnya sekitar 40cm, dengan diameter selitar 11cm, dan dipasangkan dengan sepuluh hingga 12 dawai. Agar dapat berbunyi, setiap dawai diberikan senda yang terbuat dari kayu atau bambu dan berfungsi untuk menegangkan dan mengangkat dawai.
            Secara harafiah, Sasando menurut asal katanya dalam Bahasa Rote (sasandu), berarti bergetar atau berbunyi. Mengenai awal kemunculan alat musik Sasando belum dapat diketahui secara pasti, akan tetapi ada sebuah legenda yang menceritakan mengenai kemunculan alat musik Sasando tersebut. Konon ada seorang pemuda bernama Sangguana di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Suatu hari ia menggembala di Padang Sabana. Ketika merasa lelah dan mengantuk, ia pun tertidur di bawah pohon lontar. Dalam tidurnya, ia bermimpi memainkan sebuah alat musik misterius. Ketika terbangun ia masih mengingat nada-nada yang dimainkannya. Akhirnya berdasarkan mimpi tersebut, Sangguana memutuskan untuk membuat sebuah alat musik dari daun lontar dengan senar-senar di tengahnya.
            Secara umum, Sasando berfungsi sebagai sarana hiburan masyarakat. Musik merupakan salah satu cara untuk menghilangkan kejenuhan akibat rutinitas harian, serta sebagai sarana rekreasi dan ajang pertemuan dengan warga lainnya. Umumnya masyarakat Indonesia sangat antusias dalam menonton pagelaran musik. Jika ada perunjukan musik di daerah mereka, mereka akan berbondong- bondong mendatangi tempat pertunjukan untuk menonton.
Unsur Musikal
            Seperti yang dijelaskan sebelumnya, ada dua jenis Sasando yang berkembang yaitu di daerah Rote dan Sabu. Ada beberapa perbedaan dan persamaan yang dapat ditemui pada alat musik Sasando di kedua daerah tersebut. Adapun persamaannya adalah sama-sama mempergunakan instrumen Sasando dan dalam pementasannya diiringi oleh vokal.
            Perbedaannya mencakup beberapa hal seperti Sasando Rote mempergunakan sebuah tambur kecil sedangkan pada Sasando Sabu tidak mempergunakan tambur. Tambur dimainkan dengan menggunakan alat pemukul kecil. Petikan dari Sasando Rote mempunyai pola yang sama secara terus – menerus, dengan iringan vokal dari penyanyi akan tetapi tidak terikat dengan melodi Sasando.
            Pada Sasando Sabu yang tidak menggunakan tambur, petikan dawainya mempunyai variasi yang lebih kompleks dari Sasando Rote. Selain itu, petikan Sasando mengikuti vokal dari penyanyi. Sehingga antara petikan Sasando dengan vokal sangat terkait.
Musik Tradisi Pulau Nusa Tenggara Timur, selengkapnya
Untuk Memberikan komentar gunakan Fasilitas Forum > Berita. Fasilitas ini dapat diakses melalui alamat: http://forum.isi-dps.ac.id