Jumat, 08 Maret 2013

Musik Islami

 
Pertanyaan :
Apakah Majalah As-Sunnah pernah membahas lagu atau musik Islami, dan bagaimana orang yang memainkan atau mendengarkannya? Jika boleh, apakah ada hari-hari tertentu untuk memainkan atau mendengarkannya, dan kapan waktunya? Besar harapan saya untuk dimuat pada edisi ini.
Terima kasih.
Mualaf, Jakarta.

Jawaban :
Majalah As-Sunnah belum pernah membahas masalah ini. Adapun jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan Anda sebagai berikut :
Pertama, dalam Islam, tidak ada istilah musik Islami, walaupun istilah itu diucapkan oleh sebagian orang Islam. Syaikh Shâlih bin Fauzân al-Fauzân hafizhahullah- pernah mendapatkan pertanyaan semacam ini:
“Banyak pembicaraan tentang nasyid-nasyid Islami, di sana ada yang memfatwakan boleh. Ada juga yang menyatakan, nasyid-nasyid Islami itu sebagai ganti kaset-kaset nyanyian. Bagaimanakah pendapat Anda, (wahai Syaikh) yang terhormat?”
Syaikh Shâlih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjawab :
"Penamaan ini tidak benar. Itu merupakan penamaan baru. Di kitab-kitab Salaf dan para ulama yang perkataannya terpercaya, tidak ada yang dinamakan dengan nasyid-nasyid Islami itu. Yang dikenal, bahwa orang-orang Shufi-lah yang telah menjadikan nasyid-nasyid sebagai agama bagi mereka. Itulah yang mereka namakan dengan samaa’. Adapun pada zaman kita ini, ketika banyak golongan dan kelompok, sehingga setiap kelompok memiliki nasyid-nasyid yang menjadikannya sebagai pemberi semangat. Mereka terkadang memberinya nama dengan “nasyid-nasyid Islami”.[1] Penamaan ini tidak benar. Oleh karenanya, tidak boleh memiliki nasyid-nasyid, dan meramaikannya di tengah masyarakat. Wabillahit-taufiq. [2]
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin rahimahullâh ditanya:
“Bagaimana hukum mendengarkan nasyid-nasyid? Bolehkah seorang da’i mendengarkan nasyid-nasyid islami?”
Menanggapi pertanyaan seperti ini, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin rahimahullâh menjawab:
"Aku sudah lama mendengar nasyid-nasyid Islami, dan tidak ada padanya sesuatu yang harus dijauhi. Tetapi, akhir-akhir ini aku mendengarnya, lalu aku mendapatinya dilagukan dan didendangkan dengan irama lagu-lagu yang diiringi musik. Nasyid-nasyid dalam bentuk seperti ini, maka aku tidak berpendapat seseorang boleh mendengarkannya. Akan tetapi, jika nasyid-nasyid itu spontanitas, tanpa disertai dengan irama dan lagu, maka mendengarkannya tidak mengapa, tetapi dengan syarat tidak menjadikannya sebagai kebiasaan.
Syarat lainnya, jangan menjadikan hatinya merasa tidak memperoleh manfaat dan nasihat, kecuali dengannya. Karena dengan menjadikannya sebagai kebiasaan, berarti ia telah meninggalkan yang lebih penting. Dan dengan tidak memperoleh manfaat serta tidak mendapatkan nasihat kecuali dengannya, berarti dia menyimpang dari nasihat yang paling agung, yaitu apa-apa yang terdapat di dalam kitab Allâh dan Sunnah Rasul-Nya.
Jika terkadang dia mendengarkan (nasyid yang tidak mengandung larangan), atau ketika dia sedang mengemudikan mobilnya dan ingin menghibur dalam perjalanan, maka mendengarkannya tidak mengapa."[3]
Di tempat lainnya, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin rahimahullâh berkata:
“Melagukan nasyid Islam adalah melagukan nasyid bid’ah, yang diada-adakan oleh orang-orang Shufi. Oleh karenanya, sepantasnya hal itu ditinggalkan, dan beralih kepada nasihat-nasihat Al-Qur`an dan as-Sunnah. Demi Allâh, kecuali jika hal itu dilakukan di medan perang untuk mengobarkan keberanian dan jihad fii sabilillah, maka ini baik. Jika nasyid itu diiringi dengan rebana (apalagi alat musik yang lain, Red.), maka hal itu lebih jauh dari kebenaran”.[4]

Kedua
, tentang lagu semata tanpa diiringi musik, hukum asalnya boleh, dengan syarat-syarat sebagaimana sebagian telah dijelaskan oleh Syaikh al-’Utsaimin rahimahullâh di atas, yaitu :
  1. Lagu atau nasyid itu spontanitas, dengan tanpa irama dan lagu.
  2. Tidak dijadikan sebagai kebiasaan, yaitu selalu atau sering mendengarkannya. Karena jika menjadikannya sebagai kebiasaan, berarti ia telah meninggalkan urusan yang lebih penting.
  3. Tidak menjadikan hati merasa tidak memperoleh manfaat dan nasihat kecuali dengan memainkan ataupun sekedar mendengarkan musik. Bila beranggapan seperti ini, berarti dia menyimpang dari nasihat yang paling agung, yaitu Kitab Allâh dan Sunnah Rasul.
  4. Kandungan lagu tidak bertentangan dengan ajaran agama, seperti nyanyian yang berisi kemusyrikan, bid’ah, ratapan terhadap orang yang mati, mengisahkan wanita-wanita cantik, pacaran, perzinaan, khamr, kemaksiatan, dan kerusakan lainnya. Karena semua ini akan membawa kepada keharaman.
  5. Tidak mengikuti aturan-aturan seni musik. Karena hal ini termasuk tasyabbuh terhadap orang-orang kafir atau orang-orang fasik.

Ketiga, adapun memainkan alat musik –dengan segala jenisnya- hukumnya haram, kecuali rebana yang dimainkan oleh wanita-wanita dewasa atau gadis-gadis kecil dan dipertunjukkan di kalangan wanita sendiri, pada waktu pernikahan atau pada waktu hari raya.
Di antara dalil-dalil yang mengharamkan memainkan alat-alat musik sebagai berikut:
hadits
Dari Abdur-Rahman bin Ghanm Al-Asy’ari, ia berkata:
Abu ‘Amir atau Abu Malik al-Asy’ari telah menceritakan kepadaku,
demi Allâh dia tidak berdusta kepadaku,
dia telah mendengar Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Benar-benar akan ada beberapa kelompok orang dari umatku
akan menghalalkan kemaluan (yakni zina), sutera, khamr, dan alat-alat musik.
Dan beberapa kelompok orang benar-benar akan singgah
ke lereng sebuah gunung dengan binatang ternak mereka.
Seorang yang miskin mendatangi mereka untuk satu keperluan,
lalu mereka berkata: ‘Kembalilah kepada kami besok,”
kemudian Allâh menimpakan siksaan kepada mereka di waktu malam,
menimpakan gunung (kepada sebagian mereka),
dan merobah yang lainnya menjadi kera-kera dan babi-babi sampai hari Kiamat”.[5]

Juga sabda Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
hadits
Dua suara yang dilaknat di dunia dan akhirat; (yaitu)
nyanyian di saat kenikmatan, dan jeritan ketika musibah.[6]

Juga hadits Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
hadits
Dari Abdur-Rahman bin Auf, dia berkata:
"Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
'Aku tidak melarang dari menangis,
tetapi aku telah melarang dari dua suara yang bodoh dan maksiat;
suara di saat nyanyian hiburan/kesenangan, permainan, dan lagu-lagu setan;
dan suara di saat musibah, menampar wajah, merobek baju, dan jeritan setan”.[7]

Dan hadits Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
hadits
Dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata:
"Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
'Sesungguhnya Allâh telah mengharamkan atasku (pada riwayat lain, atas mereka)
-atau telah diharamkan- khamr, judi, dan al-kûbah”,
beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam juga bersabda:
“Dan tiap-tiap yang memabukkan haram”.
Sufyan (salah seorang perawi) berkata:
“Aku bertanya kepada Ali bin Badzimah tentang al-kûbah,
dia menjawab ‘beduk (drum, gendang, atau semacamnya)’.” [8]
Semua hadits-hadits yang disebutkan ini, secara umum melarang musik. Kemudian ada hadits-hadits lain yang menunjukkan bolehnya wanita memainkan rebana pada waktu pernikahan, dan gadis-gadis kecil memainkannya di waktu hari raya. Oleh karenanya, hal ini dikecualikan dari larangan. Tetapi, tentu tidak boleh menyebabkan fitnah (kemaksiatan) dan kerusakan, sehingga dilakukan di kalangan para wanita itu sendiri, tidak di hadapan umum, serta tidak memakai pengeras suara. Wallahu a’lam.
[1] Sebagian menamakannya dengan mars.
[2] Lihat Majalah ad-Da’wah, no. 1632, 7 Dzulqa’dah 1418. Dinukil dari al-Qaulul-Mufid fî Hukmil-Anasyid, karya ‘Isham Abdul- Mun’im al-Murri, hlm. 37.
[3] Lihat kitab ash-Shahwah al-Islamiyyah, Abu Anas Ali bin Hasan Abu Luz, hlm. 123. Dinukil dari al-Qaulul-Mufid fî Hukmil-Anasyid, hlm. 39.
[4] Lihat Fatâwâ Aqidah, Maktabah as-Sunnah, hlm. 651, no: 369. Dinukil dari al-Qaulul-Mufid fî Hukmil-Anasyid, hlm. 40.
[5]
Hadits shahîh, riwayat al-Bukhâri dalam Shahîh-nya, kitab al-Asy-ribah, dan lainnya. Ibnu Hazm t mendhaifkan hadits ini –dan diikuti oleh sebagian orang pada zaman ini- dengan anggapan sanad hadits ini terputus antara al-Bukhâri dengan Hisyam bin ‘Ammar. Anggapan seperti ini tidak benar, karena Hisyam merupakan syaikh (guru) al-Bukhâri. Selain itu, banyak perawi lain yang mendengar hadits ini dari Hisyam. Lihat Tahrim Alatith-Tharb, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, hlm. 38-51. Oleh karena itu, para imam (ulama) dan hafizh (ahli hadits) sepanjang zaman menshahihkan hadits ini. Lihat Tahrim Alatith-Tharb, hlm. 89.
[6]
HR al-Bazzar di dalam Musnad-nya (1/377/795) –Kasyful-Astar. Abu Bakar asy-Syafi’i dalam ar-Ruba’iyyat (2/22/1)- manuskrip Zhahiriyah. Adh-Dhiya’ al-Maqdisi dalam al-Ahadits al-Mukhtarah (6/188/2200, 2201). Ibnus-Samak dalam al-Awwalu min Haditsihi, lembar (87/2)- manuskrip. Derajat hadits ini shahih lighairihi. Lihat Tahrim Alatith-Tharb, hlm. 51-52.
[7]
HR al-Hakim (4/40), al-Baihaqi (4/69). Disebutkan di dalam asy-Syu’ab (7/241, 1063, 1064). Ibnu Abi Dunya dalam Dzammul-Malahi, lembar (159/1) Zhahiriyah. Al-Aajuri dalam Tahrimun-Nard (201/63). Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (5/430-431). Ath-Thayalisi dalam Musnad-nya (1683). Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat (1/138). Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (3/393). ‘Abd bin Humaid dalam al-Muntakhab minal-Musnad (3/8/1044). At-Tirmidzi no: 1005 dengan ringkas. Dihasankan oleh at-Tirmidzi, dan disetujui oleh az-Zaila’i dalam Nashbur-Rayah (4/84), dan Ibnul- Qayyim di dalam al-Ighatsah (1/254). Al-Hafizh mendiamkannya di dalam Fathul-Bari (3/173-174), sebagai isyarat penguatannya. Lihat Tahrim Alatith-Tharb, hlm. 52-53.
[8]
HR Abu Dawud no. 3696. Al-Baihaqi (10/221). Dishahihkan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani di dalam Tahrim Alatith-Tharb, hlm. 55, 56.

(Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XII)








Tidak ada komentar:

Posting Komentar